Matematika,
apa yang terlintas di atas kepala? apakah rumus-rumus “mengagumkan”, atau
sesuatu yang mengerikan?, atau sesuatu hal yang membuat pusing pikiran?. Jika
ditanyakan ke anak-anak SD pasti jawaban mereka “Matematika itu pelajaran
tentang hitung-menghitung”, ya! tepat sekali, matematika itu memang pelajaran
hitung menghitung, tapi apakah sekecil itu lingkup matematika?. Kurikulum
tentang matematika di Indonesia memang menjuruskan matematika sebagai ilmu
untuk hitung menghitung serta ilmu yang dianggap “pasti”. Tak mengherankan
mendengar anak-anak SD bertutur jikalau matematika adalah pelajaran yang
menyusahkan dan kadang membuat kepala pening. Ada kah yang salah dengan hal
ini? tentu saja. Entah siapa pemula kesalahan ini, yang jelas unsur sastra dan
bahasa dalam matematika sudah lenyap, yang tersisa hanya hitung menghitung
(eksak). Bagaimana bisa matematika memiliki unsur sastra/bahasa sedangkan yang
kita ketahui hanya sebatas hitung menghitung dan hafalan rumus?.
Kita
ibaratkan matematika adalah suatu kalimat. Didalam kalimat mengandung pola yang
dalam bahasa Indonesia dilambangkan, S(Subjek), P(Predikat), O(Objek),
K(Keterangan). Sebagai contoh, saya membeli nasi uduk dipagi hari, tanpa harus
menganalisanya lagi kita sudah tahu bahwa “Saya” sebagai subjek, “membeli”
sebagai predikat, “nasi uduk” sebagai objek, dan “dipagi hari” sebagai
keterangan waktu. Jika pola kalimatnya seperti itu kita tentu tidak perlu
pusing-pusing lagi kan? tapi apabila kalimat tersebut diacak/dibolak-balik atau
ditambahkan kalimat lain dan kita disuruh untuk menganalisa yang mana subjek,
predikat, dll bagaimana? tentu kita urutkan sesuai pola hingga sesuai dengan
sesuatu yang disebut “rumus”. Begitu pula matematika, karena pendidikan
sekarang mengutamakan hitung menghitung alhasil baru melihat soal yang diacak
secara sederhana sudah pusing dan bingung. Padahal inti dari matematika adalah
kita dapat menangkap pola dari sesuatu yang tak berpola, dalam kasus ini soal.
Contohnya, 1-cos^2x+2sinx+1=0 berapa nilai x yang memenuhi, ini contoh soal
pemfaktoran, jika mindset kita adalah hitung menghitung pasti akan
menemukan kesulitan yang jauh dalam ketimbang kita berpikiran bahwa matematika
adalah ilmu menemukan pola, “1-cos^2x” itu kan sama saja “sin^2x”, maka bentuk
soalnya menjadi “sin^2x+2sinx+1=0″ jangan dulu pusing, karena soal tersebut
mempunyai pola “x^2+2x+1=0″, karena sudah mengetahui pola dari soal, untuk
melanjutkannya pasti mudah, hanya saja harus tetap teliti dan jangan gasrak-gusruk.
Jadi, mulailah ubah mindset akan matematika. Matematika itu ilmu menemukan pola
dari sesuatu yang acak.
Selain itu,
matematika juga bukan ilmu pasti yang selama ini diajarkan ke murid-murid.
Matematika sama seperti fisika, kimia, dan ilmu eksak lainnya. Mereka adalah
ilmu tentang deal. Ambil contoh fisika, ada massa bola: 1 kg, percepatan
gravitasi bumi: 10 m/s^2, dan ketinggian bola: 1 m berapakah Energi potensial
bola tersebut? rumusnya adalah massa x a gravitasi bumi x tinggi, berarti
jawabannya 10 J. Tetapi percepatan gravitasi bumi bukannya 9,8 m/s^2? itulah
yang saya maksud dengan kesepakatan. Dalam soal, yang menjadi kesepakatan
adalah 10m/s^2, kita harus sepakat dan mengikutinya dengan konsisten. Begitu
pula matematika, dalam konteks penjumlahan misalkan 3+3=…. Saya yakin kebanyakan
orang menjawab “6″, padahal saya belum memberikan kesepakatan yang digunakan.
Jika kesepakatannya adalah penjumlahan bilangan biner atau faktorial? otomatis
jawaban “6″ akan salah total, tetapi jika kesepakatannya adalah penjumlahan
bilangan bulat, maka “6″ jawaban yang sangat tepat. Jangan terpedaya oleh
kebiasaan-kebiasaan yang silam, tanyakan dulu kesepakatan apa yang dipakai,
setelahnya baru konsisten dengan kesepakatan tersebut.
Lalu apa
dampaknya terhadap kehidupan? Jika pemikiran terhadap matematika hanya sebatas
hitung menghitung saya kuatir dalam kehidupan nyata. Dikehidupan nyata ini
banyak sesuatu yang “acak” tak sesuai seperti seharusnya. Kenapa bisa terjadi
situasi seperti itu? karena tak ada yang mengharmonisasikan, tidak ada juga
yang merangkainya menjadi saturasi keindahan. Jika tersedia tujuh not
(datonik), irama yang dimainkan kebanyakan musik klasik asli barat yang
kedengarannya datar. Berbeda dengan musisi-musisi blues yang dapat menciptakan
keharmonisan hanya dengan lima not (pentatonik) yang tersedia. Ini membuktikan,
jika mengerti dan paham tentang bagaimana mensinkronisasikan pola-pola terhadap
sesuatu yang tak berpola maka akan terjadi suatu harmoni kehidupan yang
sebelumnya hanya sebuah the random things.
sumber: Wendi Isnandar, OPINI
0 komentar:
Posting Komentar
komentarin dong... :(