Rabu, 10 Desember 2014

Matematika Sebagai Bahasa


Matematika, apa yang terlintas di atas kepala? apakah rumus-rumus “mengagumkan”, atau sesuatu yang mengerikan?, atau sesuatu hal yang membuat pusing pikiran?. Jika ditanyakan ke anak-anak SD pasti jawaban mereka “Matematika itu pelajaran tentang hitung-menghitung”, ya! tepat sekali, matematika itu memang pelajaran hitung menghitung, tapi apakah sekecil itu lingkup matematika?. Kurikulum tentang matematika di Indonesia memang menjuruskan matematika sebagai ilmu untuk hitung menghitung serta ilmu yang dianggap “pasti”. Tak mengherankan mendengar anak-anak SD bertutur jikalau matematika adalah pelajaran yang menyusahkan dan kadang membuat kepala pening. Ada kah yang salah dengan hal ini? tentu saja. Entah siapa pemula kesalahan ini, yang jelas unsur sastra dan bahasa dalam matematika sudah lenyap, yang tersisa hanya hitung menghitung (eksak). Bagaimana bisa matematika memiliki unsur sastra/bahasa sedangkan yang kita ketahui hanya sebatas hitung menghitung dan hafalan rumus?.
Kita ibaratkan matematika adalah suatu kalimat. Didalam kalimat mengandung pola yang dalam bahasa Indonesia dilambangkan, S(Subjek), P(Predikat), O(Objek), K(Keterangan). Sebagai contoh, saya membeli nasi uduk dipagi hari, tanpa harus menganalisanya lagi kita sudah tahu bahwa “Saya” sebagai subjek, “membeli” sebagai predikat, “nasi uduk” sebagai objek, dan “dipagi hari” sebagai keterangan waktu. Jika pola kalimatnya seperti itu kita tentu tidak perlu pusing-pusing lagi kan? tapi apabila kalimat tersebut diacak/dibolak-balik atau ditambahkan kalimat lain dan kita disuruh untuk menganalisa yang mana subjek, predikat, dll bagaimana? tentu kita urutkan sesuai pola hingga sesuai dengan sesuatu yang disebut “rumus”. Begitu pula matematika, karena pendidikan sekarang mengutamakan hitung menghitung alhasil baru melihat soal yang diacak secara sederhana sudah pusing dan bingung. Padahal inti dari matematika adalah kita dapat menangkap pola dari sesuatu yang tak berpola, dalam kasus ini soal. Contohnya, 1-cos^2x+2sinx+1=0 berapa nilai x yang memenuhi, ini contoh soal pemfaktoran, jika mindset kita adalah hitung menghitung pasti akan menemukan kesulitan yang jauh dalam ketimbang kita berpikiran bahwa matematika adalah ilmu menemukan pola, “1-cos^2x” itu kan sama saja “sin^2x”, maka bentuk soalnya menjadi “sin^2x+2sinx+1=0″ jangan dulu pusing, karena soal tersebut mempunyai pola “x^2+2x+1=0″, karena sudah mengetahui pola dari soal, untuk melanjutkannya pasti mudah, hanya saja harus tetap teliti dan jangan gasrak-gusruk. Jadi, mulailah ubah mindset akan matematika. Matematika itu ilmu menemukan pola dari sesuatu yang acak.
Selain itu, matematika juga bukan ilmu pasti yang selama ini diajarkan ke murid-murid. Matematika sama seperti fisika, kimia, dan ilmu eksak lainnya. Mereka adalah ilmu tentang deal. Ambil contoh fisika, ada massa bola: 1 kg, percepatan gravitasi bumi: 10 m/s^2, dan ketinggian bola: 1 m berapakah Energi potensial bola tersebut? rumusnya adalah massa x a gravitasi bumi x tinggi, berarti jawabannya 10 J. Tetapi percepatan gravitasi bumi bukannya 9,8 m/s^2? itulah yang saya maksud dengan kesepakatan. Dalam soal, yang menjadi kesepakatan adalah 10m/s^2, kita harus sepakat dan mengikutinya dengan konsisten. Begitu pula matematika, dalam konteks penjumlahan misalkan 3+3=…. Saya yakin kebanyakan orang menjawab “6″, padahal saya belum memberikan kesepakatan yang digunakan. Jika kesepakatannya adalah penjumlahan bilangan biner atau faktorial? otomatis jawaban “6″ akan salah total, tetapi jika kesepakatannya adalah penjumlahan bilangan bulat, maka “6″ jawaban yang sangat tepat. Jangan terpedaya oleh kebiasaan-kebiasaan yang silam, tanyakan dulu kesepakatan apa yang dipakai, setelahnya baru konsisten dengan kesepakatan tersebut.
Lalu apa dampaknya terhadap kehidupan? Jika pemikiran terhadap matematika hanya sebatas hitung menghitung saya kuatir dalam kehidupan nyata. Dikehidupan nyata ini banyak sesuatu yang “acak” tak sesuai seperti seharusnya. Kenapa bisa terjadi situasi seperti itu? karena tak ada yang mengharmonisasikan, tidak ada juga yang merangkainya menjadi saturasi keindahan. Jika tersedia tujuh not (datonik), irama yang dimainkan kebanyakan musik klasik asli barat yang kedengarannya datar. Berbeda dengan musisi-musisi blues yang dapat menciptakan keharmonisan hanya dengan lima not (pentatonik) yang tersedia. Ini membuktikan, jika mengerti dan paham tentang bagaimana mensinkronisasikan pola-pola terhadap sesuatu yang tak berpola maka akan terjadi suatu harmoni kehidupan yang sebelumnya hanya sebuah the random things. 

sumber: Wendi Isnandar, OPINI

0 komentar:

Posting Komentar

komentarin dong... :(

 
Copyright (c) 2010 WELCOME TO MY KINGDOM :) and Powered by Blogger.